Tetiba, “big data” jadi mantra sakti. Di India, beberapa perusahaan menghilangkan jabatan CEO karena semua keputusan strategis bisa diambil mesin pengolah data. Di dunia PR, konon big data belum benar-benar dimanfaatkan.
Public Relations, Antara Data dan Tiada
Di ranah digital, entitas manusia berubah menjadi data. Sudah termasuk ke dalamnya: demografi, kebiasaan, dan ekosistem sosial kita. Maka big data memang menjadi amat berkuasa jika data ini berhasil dipadupadankan satu sama lain hingga menjadi kesimpulan yang lebih berarti.
Jika usia Anda 27 tahun, teman-teman Anda di media sosial dalam rentang setahun terakhir mengubah status mereka menjadi menikah, maka tekanan sosial kepada Anda untuk menikah diasumsikan akan jadi tambah besar. Lalu melalui cookies di laptop tercatat pula kebiasaan Anda mengakses artikel “Agar Tak Emosi kepada Pasangan Menjelang Pernikahan.” Fitur visual recognition di Social Media Listening tool juga menemukan ekspresi Anda saat menahan marah di sebuah foto Instagram beberapa minggu sebelum Hari H.
Semua data ini –yang bahkan belum benar-benar “big”– dapat menjadi dasar tim PR sebuah bank untuk merancang kampanye sosial “#bridesmate”. Sebuah program konsultasi hubungan gratis bagi pasangan yang bertengkar menjelang pernikahan. Bukankah menjadi cita-cita semua bank untuk mampu hadir di setiap fase hidup nasabahnya?
DILEMA DATA
Data terekam digital memang berlimpah. Dan banyak pihak sudah paham akan nilainya yang tinggi. Belakangan ini, ramai juga dibicarakan kemajuan teknologi AI atau kecerdasan buatan untuk mengolah, membaca dan menyajikan data. Untuk mampu melakukan itu, si mesin harus “diajari” dengan dilatih membaca pola. Yang mengajar, tentu manusia.
Limpahan data bernilai dan teknologi yang memungkinkan, memaksa kita semua mulai menggunakan big data. Tapi, jangankan mengajarkan mesin AI, kemampuan kita membaca data masih menjadi masalah tersendiri. Sebab data yang masih mentah –belum diberi konteks– hanya senilai simbol di komputer.
Mereka yang akrab dengan teknologi, biasanya praktisi IT. Sementara mereka yang terbiasa menyusun klasifikasi data, biasanya mereka yang jago Microsoft Excel. Tapi mereka yang mengerti konteks, yang tahu bagaimana seharusnya data tersebut dianalisa menjadi insight bagi aktivitas kehumasan, adalah kita; praktisi PR. Industri PR sepertinya membutuhkan lebih banyak orang-orang polymath. Manusia-manusia yang punya keahlian lebih dari satu. Seperti kebanyakan ilmuwan jenius yang kita kenal.
Sebab membaca data, saat ini, memerlukan keahlian mengelola berbagai alat pencari dan pengumpul data digital, lalu mampu membuat clustering yang tepat, untuk kemudian membaca dan menganalisa secata kontekstual.
PR YANG DATA DRIVEN
Syarat utamanya tentu saja dengan memulai. Jika Anda sudah terbiasa dengan social media campaign, mungkin sudah akrab dengan social media analytics tool seperti Socialbakers. Alat ini bisa dimaksimalkan untuk mengukur efektivitas komunikasi di media sosial, yang ujungnya tentu saja agar kita punya bahan evaluasi terus-menerus, dan membuat pola.
Jangan lupakan juga social media listening platform sebagai telinga digital, untuk menangkap percakapan publik digital tentang korporasi atau klien kita. Mesin ini mencari berdasarkan keyword. Semakin kita pintar memasang keyword yang tepat, semakin memudahkan mesin mencari temuan yang relevan.
Dua platform di atas saja sudah cukup rumit dipelajari dan dimaksimalkan agar benar-benar menghasilkan insight. Sayangnya, tak ada satu pun platform yang sangat lengkap untuk konteks ke-PR-an. Maka kita harus “tambal sana-sini” dengan fitur dari berbagai tools. Belum lagi kendala bahasa jika menggunakan platform buatan luar negeri. Ingat, mesin ini mencari berdasarkan keyword. Artinya, mesin akan menjadi bodoh dalam memetakan sentimen publik (positif, negatif, netral) tentang perusahaan kita, karena kendala bahasa.
Beberapa perusahaan teknologi sudah mulai mengembangkan platform pemberi sinyal. Masih ingat dengan teori Butterfly Effect? Istilah yang dipakai oleh Edward Norton Lorenz untuk menggambarkan bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan Brasil dapat menghasilkan tornado di Texas, Amerika Serikat, beberapa bulan kemudian. Platform pemberi sinyal ini bertugas mendeteksi gerakan di digital, social media post misalnya, yang akan menghasilkan dampak tornado reputasi kemudian. Kelak, mesin ini akan sangat membantu kita mencegah krisis atau memindai tren yang akan terjadi.
Setelah menguasai tools yang dekat dengan fungsi PR seperti disebut di atas, mari kita mendorong diri lebih jauh dengan data management platform (DMP). Sebuah dashboard pengoleksi data, baik data milik perusahaan atau eksternal yang diperlukan, untuk memadupadankan segala jenis data untuk menjadi insight. Menjadi dasar membuat strategi komunikasi, seperti contoh sederhana di awal tulisan ini. Bagi PR yang terbiasa menjaga hubungan dengan publik, kini saatnya menjalin hubungan juga dengan data.
Terakhir, saya mesti mengingatkan, belum ada platform teknologi yang terintegrasi antara listening, analytics, mesin pemberi sinyal, dan DMP. Setidaknya menurut pengalaman saya. Satu-satunya mesin yang bisa diandalkan untuk menyatukan semua data olahan, memilah, memadupadankan, membuat korelasi, menganalisa, menyajikan insight hingga membuat rekomendasi adalah kita: Petugas Kehumasan.
ARYA GUMILAR
Founder, KayuApi Digital Reputation
GM Content & Engagement, SAC