Seperti mendapatkan durian runtuh. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk merangkum pengalaman saya. Ceritanya, suatu pagi saya mendapatkan kabar gembira yaitu rencana kolaborasi kerja dalam membangun kedaulatan pangan yang terdiri dari koperasi pertanian dan peternakan, dan Konsultan PR tempat saya bekerja diterima oleh investor utama program kerja kami.
Jalur ke konglomerat tersebut didapat dari koperasi pertanian dan peternakan. Betapa senangnya kami semua saat itu. Namun mendekati hari H, ternyata kami mendapat konfirmasi bahwa tak semua boleh hadir. Hanya saya yang dapat diterima oleh konglomerat tersebut. Tanya Kenapa?
Usut punya usut. Sang konglomerat memiliki jajaran investigasi yang diberikan tugas untuk menyortir siapa saja yang layak ditemuinya. Tentu saja demi efisiensi waktu dan optimalisasi hasil kerja mereka, investigasinya sederhana saja. Buka Google dan ketik nama-nama yang berencana menemui si Big Boss. Pastinya, ketika nama kami di-Googling, keluarlah sejumlah informasi mengenai siapa kami masing-masing dan kiprahnya selama ini, dan kemudian dicocokkan dengan kebutuhan sang Konglomerat.
Penasaran, saya mencoba mengetik nama saya di mesin pencari Google. Keluarlah informasi tentang artikel saya di beberapa majalah, resensi buku Public Relations Tales yang saya tulis, artikel tentang profil saya, foto-foto berbagai kegiatan PR yang saya buat, dan sebagainya.
Iseng, saya googling juga nama dua orang teman lainnya yang belum diterima untuk menghadap. Melihat hasilnya, Ooo…akhirnya saya paham. Dua orang kawan yang telah berkiprah di dunia internasional dengan karya yang mumpuni ini hanya saya temui alamat sosial medianya, tanpa ada pemberitaan tentang kiprah profesionalnya. Profil mereka pun terbatas hanya di website korporasi mereka, tanpa ada testimony orang lain. Memang kurang menarik.
Saya baru sadar. Informasi yang terdapat di internet itu adalah Digital Asset kita. Menurut Wikipedia, tipe Digital Asset meliputi foto, logo, ilustrasi, animasi, video, presentasi, spreadsheet, dokumen word, email, dan beragam format informasi digital. Apalagi jika informasi tersebut mengenai kiprah profesional kita yang dibuat oleh pihak ketiga. Proses penguatan kredibilitas kemudian bekerja secara otomatis dengan endorsement tersebut. Semakin banyak Digital Asset kita dibuka orang maka akan semakin sering muncul di mesin pencari.
Artikel tentang kita di media massa yang muncul di mesin pencari adalah yang paling tinggi kredibilitasnya. Kenapa? Karena wartawan di media massa adalah profesi yang diikat dengan kode etik jurnalistik dan memiliki peran seleksi dalam pembangunan peradaban yang bertanggungjawab. Jelas ini berbeda dengan posting di media sosial yang bukan merupakan profesi dengan kode etik jurnalistik. Tetap bisa mendongkrak kredibilitas sih walaupun bukan dalam skala primer.
Bagaimana dengan blog? Selama kontennya mencerminkan terobosan yang cemerlang sebagai profesional bisa juga menjadi faktor untuk mendongkrak kredibilitas, apalagi jika pembaca dan komentar positif dari follower-nya banyak.
Hal ini dikuatkan oleh Edward Yang, Managing Partner Firecracker PR dalam tulisannya tentang bagaimana PR dapat membantu sales program. Edward mengatakan, ”Acts as evergreen content. Paid online ads will stop showing when the budget is exhausted. A news article in a respected outlet stays up for a long time. When a prospect searches your company name, seeing a feature article will go a long way to increasing your awareness. Even when the agency stops doing work, the article remains”. Singkatnya, jika informasi tentang kredibilitas kita dimuat di artikel media massa, dan tersimpan sebagi Digital Asset, maka dia akan tinggal disana untuk waktu yang lama.
Jika kita membayar halaman iklan di media massa digital maka akan ada masa waktu tayang sesuai lamanya kita membayar. Berbeda dengan artikel berita, tanpa harus membayar halaman iklan pemberitaan akan terus ada pada kurun waktu cukup lama ke belakang. Tapi ini tidak berarti iklan berbayar kurang penting. Karena tentu saja iklan berbayar dan publikasi tidak berbayar sebaiknya beriringan dan saling melengkapi karena fungsi iklan adalah “how to sell” dan publikasi adalah “how to tell”.
Ada lagi cerita menarik sahabat saya, Yi Susilowati Natakoesoemah yang lulus S3 bidang Ilmu Komunikasi dari Universitas ternama dan saat ini menjadi dosen. Beliau sebenarnya sudah punya Digital Asset cukup banyak, tetapi setelah ditilik lebih dalam ternyata Digital Asset yang ada selama ini hanya berupa konten hobi dan kegiatan sosialitanya. Kontennya tidak relevan untuk mendongkrak kredibilitas professional.
Saya mengingatkan beliau dan akhirnya kini dia cukup sibuk mengisi Digital Asset-nya dengan konten seputar profesionalitas sebagai akademisi dan mulai merambah sebagai profesional. Ide cemerlang kemudian muncul. Saya mengajukan ide untuk berkolaborasi dengan semangat simbiosis mutualisme. Saya minta beliau mengisi beberapa kegiatan klien Agensi PR saya yang dapat diliput oleh media massa. Hal ini sangat mumpuni terjadi karena kapasitas beliau sebagai S3 pasti banyak membawa berbagai cara pandang dalam bidang komunikasi dan dapat dikaji untuk penerapan di bidang industri komunikasi. Akhirnya, Digital Asset-nya sekarang sudah makin cemerlang.
Digital Asset akan terlihat bersinar karena unsur kredibilitas konten, third party endorser dari personal atau instusi serta content coverage. Tantangannya seperti biasa, untuk mengisi Digital Asset kita binggung harus memulai dari mana. Yuk, mulailah dari hal-hal kecil yang menarik, seperti diskusi kecil tentang industri kehumasan yang kemudian dimuat di pemberitaan seperti Majalah PR Indonesia sebagai wadah para humas mengembangkan profesionalitas dan jaringan. Jika hal itu kita imbangi peningkatan kapasitas profesional dan intelektual kita, Digital Asset secara natural akan semakin bersinar.
Nah, mulai dari sekarang. Cek Digital Asset kita sudah sampai dimana ya. Ketik nama di mesin pencari. Apa yang muncul? Selamat mengisi Digital Asset.
Oleh Ika Sastrosoebroto
President Director Prominent PR, Head Program Development of APPRI, Penulis Buku PR Tales